Sugeng Rawuh

Sugeng Rawuh.....

Disetiap menara kehidupan yang tinggi akan senantiasa hadir Manusia-manusia mercusuar yang menerangi kehidupan di sekelilingnya dengan cahayanya yang terang benderang (Anis Matta)

Minggu, 15 Mei 2011

Menghargai Keberagaman Potensi Anak

Konon di dunia binatang telah berlangsung musywarah di antara binatang besar di bawah pimpinan raja rimba singa. Mereka membicarakan rencana mendirikan sekolah bagi para binatang kecil. Di sana akan diajarkan mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang,dan menggali. Namun dalam musyawarah mereka tidak sepakat tentang subjek mana yang paling penting. Mereka memutuskan agar semua murid mengikuti kelas berenang. Kelinci yang terkenal pandai berlari pun belajar berenang namun dia hampir tenggelam. Dia berusaha belajar berenang, tetapi selalu gagal, sehingga mengguncang batinnya. Karena sibuk belajar berenang, si kelinci pun tak dapat lagi berlari secepat sebelumnya.

Murid lain yang bernama elang mengalami kesulitan dalam pelajaran menggali. Elang yang terkenal pandai terbang selalu gagal dalam menggali, sehingga dia harus mengikuti les pelajaran menggali. Les itu menyita waktu sehingga dia melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat dia kuasai. Setiap hari kesulitan—kesulitan muncul dan melanda para binatang siswa sekolah. Setiap siswa sibuk memperbaiki. Pelajaran yang tidak dikuasai sehingga mereka tidak punya kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing.

Cerita di atas dikutip dari buku sekolah para juara karya Thomas Amstrong (2000). Thomas Amstrong adalah pakar dan praktisi kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang ditemukan oleh Howard Gardner. Amstrong mengilustrasikan kemajemukan otensi setia orang seperti kecerdasan alami yang dimiliki para binatang. Cerita tersebut memberikan pelajaran juga bagi kita bahwa tugas dan fungsi utama belajar bukan untuk membentuk siswa menjadi manusia yang memiliki cita-cita dan wawasan seragam, melainkan membantu mereka untuk mengenali potensinya sedini mungkin sehingga mereka mampu membangun diri menjadi manusia yang berkualitas prima sesuai dengan kodratnya.

Belajar di sekolah bukan untuk “memaksa” mereka menjadi apa yang kita inginkan, tetapi lebih kepada upaya membangkitkan minat mereka agar bermauan keras untuk memilih sendiri arah jalan hidupnya. Pemaksaan penyeragaman  bahan sumber, metode, dan pengalaman belajar siswa, mengutamakan kebakuan format dan pengaturan administrasi daripada outcome dalam proses belajar. Memosisikan kebutuhan psikologis siwa sebagai hadiah daripada ruang dan media belajar dan menggunakan ukuran normative sebagai penentu dalam evaluasi belajar.

Selai itu, keberhasilan seorang anak diukur melalaui angka dengan acuan yang seragam bukan dengan criteria kinerja yang lebih beragam sifatnya. Dalam kondisi ini anak pintar akan memperoleh layanan yang menyenangkan dan segala-galanya dipermudah. Sebaliknya, anak yang berkategori “tidak pintar”akan diasingkan dan mereka berjalan seirama dengan nasibnya. Padahal Elaine B.Johnson telah mengingatkan bahwa guru yang bermutu memungkinkan siswanya tidak hanya dapat mencapai standar nilai akademik secara nasional tetapi juga mendaatkan pengetahuan dan keahlian yang penting untuk belajar selama hidup mereka

Praktik belajar seperti ini yang menjadikan dunia pendidikan kita dunia yang eksklusif, diskriminatid dan layanan yang bermutu hanya akan menjangkau sebagian kecil siswa. Dan yang lebih membahayakan mereka menjadi miskin engalamanbelajar. Kemiskinan pengalaman belajar akan berdampak pada orientasi belajar dan mengakibatkan mereka lebih dominan berpikir secara linear dan satu arah.

DianiSusilowati, S.Pd PR 13 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejak Kamera

Jejak Kamera
Pagi di Yogya